Tertabrak Tiang Listrik Hingga Mencekik Bangkai Hantu

[17.08.2018] Hari ini, aku mengalami dua peristiwa yang membuat hatiku gelebah. Betapa tidak, kedua kejadian itu adalah hal yang oleh peradaban manusia dicap sebagai peri negatif yang jarang kualami.

Hari kumulai dengan biasa saja, aku tetap bangun dan mandi sebelum subuh, seperti hari biasanya. Hari ini, Jumat, tertanggal 17 Agustus 2018. Pagi yang identik dengan upacara bendera.

Ya. 17 Agustus diperingati sebagai Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan negara ini, Republik Indonesia. Ini adalah kali yang ke-73 momentum ini diperingati.

Karena tergesa, sarapan kuhilangkan dari agenda pagi ini. Makanan dikemas dalam beberapa bungkusan. Kami --aku bersama istri dan dua orang anak (Fatimah dan Aditya), lalu bergegas menuju kantor.

Selama aku dan istri upacara, Fatimah dan Aditya menunggu di musala. Semua masih berjalan normal. Usai upacara dan basa-basi alias 'setor muka', kami beranjak menjemput urusan lain.

Sejatinya, kami akan bertemu dengan panitia pengumpul sumbangan bagi korban gempa di Lombok, namun sebelumnya, kami manfaatkan mampir ke taman Kampus Unhas untuk bertemu rusa, sekalian sarapan.

Rupanya, sang rusa sudah tak di sana, kandangnya telah berubah menjadi taman dengan koridor-koridor yang pas untuk bercengkrama dengan keluarga.

Sebagai gantinya, anak-anak, ditemani ibunya, berjalan mengitari air mancur di depan leter nama kampus UNIVERSITAS HASANUDDIN yang terpatri dengan huruf raksasa berwarna merah menyala.

Aku memilih mengasingkan diri ke halaman Masjid Kampus untuk memarkir kendaraan sambil sarapan. Sementara ada perbaikan di sana-sini, lokasi parkir penuh dengan material berupa pasir, kerikil, dan gundukan tanah.

Istri dan anak-anakku memungkasi pelesirannya tepat kala suapan terakhirku usai kutinaikan. Maka kami melanjutkan perjalanan menuju posko pengumpulan bantuan untuk Lombok, di rumah seorang kawan, masih di kawasan Tamalanrea.

Setelah menyerahkan bantuan, kami pamit. Hatiku riang, berarti aku bisa langsung istirahat begitu tiba di rumah, gumamku dalam hati. Sisa lelah masih terasa, semalam aku baru tiba dari luar kota.

Rupanya, harapan itu harus buyar oleh rencana terselubung istriku. Dia mengajakku untuk menjenguk seorang sahabat yang baru saja pindah domisili ke daerah Samata, Gowa, tak jauh dari kompleks Kampus UIN Alaudddin.

Aku arahkan mobil melintasi kawasan Antang Raya, alternatif pintasan menuju Samata tanpa harus menjejak pusat kota Makassar. Mobil merambat pelan, seredup tenagaku yang butuh lelap.

Petaka bermula ketika kami memasuki kompleks perumahan tempat sahabat kami berdiam. Kami telah mengikuti petunjuk yang ia berikan dengan saksama, namun telah dua kali kami mengulang jalan, tetap juga tak bertemu.

Pada putaran kedua, kami mencoba mereka-reka tafsiran lain atas petunjuk yang diberikan, walhasil kami tetap tersesat, bahkan bertemu dengan jalanan kompleks yang belum  memadai.

Kupilih berbalik arah, aku memundurkan mobil di jalanan berbatu, menurun pula. Karena lelah, tingkat keawasanku pun melemah. Kuabaikan tayangan kamera belakang, tak kuhirau raungan alarm.

Buk! Tiba-tiba suara benturan mengagetkanku di sela bunyi alarm yang terdengar nyaring. Lalu kutengok tayangan kamera belakang, sebatang tiang listrik telah mencumbu bumper mobil bagian belakang.

"Waduh, tabrakki' tiang listrik, Kak." Seru tertahan istriku, mengandung sesal.
"Bukan saya yang menabrak, saya yang ditabrak tiang listrik." Timpalku berusaha meredakan gelisah yang sekonyong-konyong menyeruak.

Setelah memastikan bahwa kerusakannya tak fatal, hanya kempot kecil dan lecet nan mungil di sudut pintu bagasi, kami lanjutkan perjalanan, kembali memutar. Beruntung, sahabat itu menelepon dan keluar mencari kami.

Sepanjang waktu di rumah sahabat tadi, aku begitu berat mengikuti canda-gurau yang menguar, secebis senyum pun sulit untuk kuukir, lelah benar-benar membekapku tanpa ampun.

Ini Jumat, segera kami beranjak. Di jalan, seorang karib mengingatkan di group WA, bahwa Center for Islamic Research and Consultancy (CIRC) akan di-launching siang ini di salah satu warung kopi di bilangan Toddopuli.

Karena merasa oleng, sementara kumerasa perlu untuk hadir --aku didapuk menjadi salah satu pengurus di CIRC, kukontak karib yang lain agar bisa menjemputku selepas jumat, lalu kita akan berangkat bareng.

Tapi selepas Jumat, tenagaku sudah benar-benar terkuras. Kuhubungi sang karib yang siap menjemput, kukabarkan bila aku tak bisa turut-serta. Aku tergolek di pembaringan, untuk sekadar memejamkan mata pun, tenagaku punah.

Lelap baru bergelayut di pelupuk, sekian menit menjelang asar, tidurku terpenggal azan. Maka sepulang dari salat asar, kulanjutkan melenakan raga, meski kutahu, tidur setelah asar, bukan saja tak dianjurkan, bahkan terlarang.

Tak lama, seorang ibu paruh baya mengajakku melihat kondisi anaknya yang menurutnya telah menyalin diri dari muslimah menjadi musyrikah. Konon, anak perempuannya yang baru paruh 20-an, menyembah hantu di rumah tua.

Tanpa mnghiraukan lelah, kuikuti langkah sang ibu menuju lorong di depan rumah, di ujungnya memang ada sebuah rumah tua dua lantai yang telah lama tak berpenghuni. Kami menyusuri lorong yang becek.

Dari arah depan, nampak sebuah mobil sedan melaju dengan kencang. Saat jarak kami telah dekat, ternyata mobil itu dikendarai seorang perempuan yang kukenal. Dia tiba-tiba menyeringai lebar padaku.

Belum sempat aku mengatasi keherananku terkait mulutnya yang terbuka hingga ke pangkal telinga saat dia menyeringai tadi, sebuah mobil menyusul. Aku meloncat ke samping menghindari percikan air dari jalan.

Coba lihat, mobil ini tak kalah anehnya. Tak ada seorang pun yang duduk di belakang setir, begitu juga pada jok penumpang. Tapi sekonyong-konyong kudengar teriakan. Seperti suara joki meneriaki kuda tunggangannya.

Begitu mobil itu melintas, kulihat perempuan yang menyetir di mobil pertama, malah berdiri di bumper belakang mobil kedua. Dialah yang berteriak tadi, memperlakukan mobil itu sebagai kudanya.

Lagi-lagi dia menyeringai, lalu mengerling, seakan mengejekku. "Ada apa, Pak?" Ibu paruh baya yang kutemani berjalan itu keheranan melihat wajahku yang keheranan pula. Aku memilih tak menceritakan yang kulihat.

Kami melanjutkan langkah, kami sudah dekat. Seorang perempuan muda, sekira paruh 20-an umurnya, anak dari ibu paruh baya ini kukira. Perempuan muda itu bersimpuh di halaman yang lempang nan berdebu.

Perlahan aku melangkah, dia tak sendiri, ada beberapa perempuan muda yang mempraktikkan laku yang serupa. Selain bersimpuh, rambut panjang mereka terurai menutupi wajah, hanya tangan yang menggapai-gapai ke arah rumah tua.

Kudengar suara lengkingan dari dalam rumah, bulu di kudukku meremang. Ibu paruh baya itu memilih berlindung di balik punggungku. Sekali lagi terdengar lengkingan, aku berhasil menguasai diri, kulafazkan Ayat Kursy berkali-kali.

Saat kudongakkan kepala ke arah atas rumah tua itu, kulihat sepasang mata lirih dari kepala seekor macan kumbang, tak salah lagi, macan kumbang yang lumayan besar, tak kurang ukuran badannya sebesar kerbau remaja.

Dia menatapku awas, aku juga meningkatkan kewaspadaan. Maka saat dia melompat ke arahku dari atas atap pada lengkingannya yang ketiga, aku sudah bersiap. Aku mengelik sambil mendorong tubuh ibu paruh baya itu agar menjauh.

Begitu tubuh macan kumbang itu mendarat tak sempurna, debu beterbangan, perempuan-perempuan muda yang bersimpuh di halaman, pada berhamburan. Aku melenting sekuat daya lalu mendarat tepat di punggung si kumbang, kedua tanganku langsung mencengkeram lehernya.

Tubuh si kumbang terguling, peganganku tak lepas, aku bersiap untuk pergumulan panjang. "Allahu Akbar!" teriakku berkali-kali sambil membetot leher si kumbang. Kakiku membelit perutnya erat, tak kubiarkan dia meronta.

Tak ada perlawanan di sana, aku terus mengguncang-guncang tubuhnya. Rupanya, macan kumbang itu telah jadi mayat. Perlahan bangkai itu mengecil, kulit dan badannya mengkerut hingga seukuran kucing.

Aku tetap membetot lehernya, badanku bergetar, takbir tak henti membahana dari mulutku. Aku tak boleh membiarkan hantu perempuan ini lolos, meski dia sudah menjadi bangkai.

"Kak, bangun! Kenapa bergetar badanta'. Berkeringatki juga." Seru istriku membangunkan.
"Astagfirullah... Tidakji." Jawabku sekenanya.
"Jangki' tidur lagi, Kak. Maumi magrib." Istriku mengingatkan.
Aku beranjak menuju kamar mandi tanpa suara, hanya mulutku tak henti beristigfar.

Sumber Ilustrasi: trepdiselo.gq

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama