Resensi: Mencecap Kopistarbuk Rasa Kendari


Apakah status facebook bisa dijadikan buku? Pertanyaan ini telah berulang kudengar. Demikian pula dengan soal, layakkah buku demikian diterbitkan? Dalam berbagai kesempatan, selalu mengemuka.

Sebetulnya, bila kita sedikit rajin menyambangi toko-toko buku, kita dengan mudah menemukan beberapa buku yang lahir dari ketelatenan para editor menelisik dinding facebook para penulis.

Tak usah jauh-jauh mencari bukti. Longoklah buku Air Mata Darah (2015) anggitan Sulhan Yusuf, atau Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014) yang dikarang oleh Abdul Rasyid Idris.

Demikian pula dengan pustaka yang sedang berusaha kumamah, Kopistarbuk tajuknya, singkatan dari Kumpulan Opini, Status, dan Racauan Fesbuk. Buah karya Arham Kendari yang diterbitkan Gramedia.

Perihal Arham, jurnalis dengan seabrek side job (seperti pengakuannya) ini, telah menulis dua buku, diterbitkan Gramedia juga, Jakarta Underkompor Sebuah Memoar Garing (2008), dan Dumba - Dumba Gleter Jodoh di Tangan Tuhan (2010).

Namun bila belum cukup juga informasi ini untuk membantu pengenalan akan si Arham. Maka ketahuilah bahwa dialah pelaku utama pembuatan meme "Extra Boss merubah Jongos menjadi Boss..!!" yang viral itu.

Kembali ke Kopistarbuk, dalam buku ini, Arham berhasil menunjukkan dirinya sebagai seorang ferbukers yang tak segan melempar opininya dengan gaya konyol, dan bisa memotret realitas sosial dengan cara unik.

Boim Lebon, penulis bernama lengkap Hilman Hariwijaya, pengarang kisah lawas yang menjadi idola abege zaman baheula, Lupus (1988), menilai Arham sebagai penulis yang "Kepo tapi kreatif, konyol tapi produktif." Sebentuk penilaian yang tak berlebihan.

Di halaman 89 bukunya, Arham menulis:
"Kalo gak bisa memiliki apa yg Anda cintai, cobalah mulai mencintai apa yg Anda miliki."
Wew...keren juga nih khatib Jumatan. Tapi sayang kurang penambahan kata "itu" di ujung kalimat, jadi kesan Golden Ways-nya kurang dapat.

Lihatlah, ketika ia ingin mengatakan betapa klise-nya kalimat seorang khatib Jumat, Arham malah menyebutnya keren, setelahnya, barulah ia berulah menunjukkan bahwa tindak peniruan si khatib kurang sempurna.

Tengok pula, betapa cadasnya ia menggambarkan realitas ketenagakerjaan di negeri ini. Maaf bila kutipan dari halaman 168 buku ini agak panjang, silakan menyimak:
Syahdan, tersebutlah sebuah negeri antah berantah yang indah dan romantis, negeri yang disinyalir sebagai bagian dari Benua Atlantis. Negeri yang membuat gemas bangsa Eripa di masa lalu. Juga membuat repot Unesco atas klaim demi klaim bangsa Melayu. Negeri di mana tanpa berguru ke sekolah Hogwarys pun tongkat layu dan batu bisa disulap jadi tanaman.
Tapi ironis... Belakangan negeri ini lebih tersohor sebagai negeri produsen kasus tingkat tinggi, dan pencetak jongos yang mumpuni. Ribuan tenaga kerja siap siksa, diekspor setiap tahunnya. Stand by untuk dikeplak-keplak majikan bahlul. Hampir setara dengan banyaknya tenaga kerja intelektual yang siap mengeplak-ngeplak harga diri bangsa,  menghamba pada lembaga donatur.

 Sebagai sebuah karya, Kopistarbuk pun tak lepas dari kekhilafan, terutama dengan munculnya tema yang garing nan basi. Terkadang lontaran status yang ditulis Arham adalah parafrase dari lelucon yang sudah amat tenar. Lihat postingan di halaman 46.

Ponakan gw iseng banget nanya ke bapaknya berapa biaya yang dibutuhkan untuk menikah. Bapaknya cuma menghela nafas panjang sambil memandang wajah anaknya yang polos. "Entahlah, Nak, karena sampe detik ini Bapak masih terus bayar sama ibumu."

Di era blackberry messenger (BBM) sedang jaya-jayanya, kutipan ini pernah hadir sebagai broadcast berulang yang dibaca oleh para BBMers. Kisah ini juga divisualisasi dalam salah satu episode MOP Papua yang tenar, Epen Cupen.

Longok pula postingan di halaman 47, saat Arham memposting perihal hanya malam-malam yang berawalan S yang dibolehkan melakukan hubungan suami istri.  Lalu solusinya adalah mengganti nama hari menjadi berawalan S,  seperti Jumat menjadi Sumat.

Bukankah cerita ini telah tersuar dengan beragam versi di tengah khalayak? Lagi pula, versi si Arhan tak lebih elegan dibanding versi lain yang beredar.  Meski memang dia mengakuinya di ekor postingan: *Maksa woy*.

Tapi walau bagaimanapun, buku ini tetap menjadi spesial buatku, karena dia adalah hadiah dari sebuah pertemuan pintas kemarin (Kamis, 06/09/2018) siang di Pelataran Balaikota Malang dengan seorang kawan lama.

Ya, buku ini kuperoleh sebagai kenangan persuaan dengan Ika Farihah Hentihu, seorang jurnalis (Sekretaris Redaksi wartasulsel.net); blogger; traveler; akademisi (dosen dan mahasiswa sekaligus); pun pecinta budaya dan sejarah Makassar.

Selain itu, buku ini kian berkesan dengan terpampangnya nama Tsurayya Zahra pada halaman 230, seseorang yang juga kukenal sebagai seorang jurnalis (Pimpinan Redaksi jurnalpublik.com); aktivis; politisi; jua ibu rumah tangga.

Nama kedua perempuan ini menjadi semacam agunan bahwa buku ini, tak sekadar layak, juga enak dibaca. "Saya tak berhenti ngakak ketika membaca buku itu," kesan Daeng Te'ne, demikian Ika Farihah lebih senang disapa.

Maka kubacalah buku setebal 240 muka ini sepanjang perjalanan selama di Malang, dan dalam perjalanan dari Malang ke Surabaya. Walhasil, aku memang bisa menghalau kantuk dengan tawa yang gelak.

Judul              : Kopistarbuk (Kumpulan Opini, Status, dan Racauan Fesbuk
Penulis          : Arham Kendari
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama (2014)
Tebal              : 240 halaman

Dimuat di MakassarBuku.Net, 07 September 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama