Tentang Perempuan Berbaju Jingga di Seat 7A

[14.10.2018] Jam tangan yang melingkar di lengan kananku menunjukkan pukul 04.17 bbwi, dari jauh sayup terdengar suara azan. Kubuka aplikasi Hijri Calender di telepon genggamku, terkonfirmasi bahwa subuh jatuh pada pukul 04.13 untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Segera kusingkirkan sarung hitam yang kugunakan untuk menutupi mukaku sambil leyeh-leyeh di kursi ruang tunggu keberangkatan gate C4 Bandara Internasional Soekarno - Hatta, Cengkareng. Saatnya salat subuh, gumamku dalam hati.

Aku menoleh ke bangku sebelah kiri, kusapa kawan seperjalananku, Muhtar.
"Kak, saya salat duluan ya."
"Ya, silakan duluan, kita bergantian, nanti saya yang jaga barang."
Aku melangkah menuju tangga untuk turun ke musalla gate C4 yang bersisian dengan toilet di bawah ruang tunggu.

Selepas dari tandas, saya segera berwudu, gelombang pertama jamaah salat subuh mulai membubarkan diri dari musalla yang daya tampungnya tak lebih dari sepuluh orang. Sebaris jamaah lelaki yang hampir sejajar dengan imam, ditambah se-saf jamaah perempuan.

Begitu kakiku melangkah masuk musalla, seorang jamaah perempuan yang sudah lengkap dengan mukena putih, menyapa lirih.
"Silakan jadi imam, kita berjamaah."
Sekilas kulirik dia, mukanya seperti begitu karib, tapi tak ada kala untuk mencarinya di jejak ingatan.

Maka sambil merapikan pakaian, aku melongok ke arah pintu musalla, belum ada jamah lelaki yang muncul. Tak ada pilihan, kukuatkan azam, aku yang harus jadi imam. Kuangkat takbir, di rakaat pertama kubaca al Qadr, di rakaat kedua kukhatamkan al Maun.

Saat salam kulafaz sebagai pemungkas salat, kutemukan dua orang jamah lelaki ikut membersamai, sementara perempuan itu, tetap saja sendiri. Setelah berzikir secara minimalis, kutinggalkan musalla dengan pikiran yang mulai bekerja, siapa gerangan jamaah perempuan itu.

Saat kembali ke bangku ruang tunggu gate C4, giliranku menjagai barang, dan Muhtar yang melangkah ke musalla. Sekilas kulihat jamaah perempuan itu melintas dengan menyeret tas bepergiannya yang berbentuk kotak berwarna oranye. Baju dan celananya berwarna senada, jingga.


Sepertinya kami menanti pesawat yang sama menuju Makassar, Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6288. Mataku tak mengikuti di kursi mana akhirnya dia bersemayam, namun ingatanku mulai bekerja membongkar tumpukan wajah dalam memori dengan satu semangat, mencari jawab atas tanya: siapa dia?

Hidung bangir, menjadi penanda utama bahwa perempuan itu bukan keturunan asli Melayu. Sepertinya dia berdarah Timur Tengah atau Asia Selatan, tapi melihat perawakannya yang tidak terlalu tinggi, kusimpulkan dia berdarah Asia Selatan. Hal ini diperkuat oleh matanya yang mirip dengan milik beberapa aktris Bollywood.

Pikiranku disela oleh kedatangan Muhtar dari musalla yang disusul dengan uar-uar dari seorang perempuan yang entah di mana. Katanya, penumpang Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6288 tujuan Makassar disilakan naik ke pesawat udara melalui pintu C1.

Maka seperti rombongan semut yang baru menemukan sumber makanan, kami beranjak melintasi koridor sepanjang C4 ke C1 yang berdinding kaca tebal. Sekilas, kulihat perempuan berhidung bangir itu ada dalam antrian, di barisan belakang. Meski terlihat jelas kalau dia rutin melakukan perawatan khusus atas tubuh, kulit dan wajahnya, kutaksir usianya di akhir 40-an.

Saat menyusur garbarata hingga kuhempaskan tubuhku di bangku nomor 8D, ingatanku soal perempuan itu, menguap. Aku sibuk membereskan seat belt, mengambil sarung dari tas sebagai pengganti jaket untuk menghalau dingin di kabin, bercanda dengan Muhtar yang duduk di kursi nomor 8E, serta mengomentari tiadanya televisi mungil di sandaran kursi.

Tapi saat penumpang sudah hampir naik seluruhnya, kulihat perempuan berpakaian warna jingga yang mukanya terasa karib itu melangkah pelan memasuki kabin. Aku yang duduk di kursi yang bersisian dengan lorong pesawat bisa melihat langkahnya dengan saksama. Dia berhenti di samping kursi nomor 7C, minta permisi untuk melintas, dia akan duduk di kursi nomor 7A.

Kecamuk pikiran tentangnya terus berlangsung. Mulai dari soal pilihan sarapan sebagai jawaban atas tanya pramugari: nasi liwet vs nasi goreng. Apa dia akan memilih nasi khas Solo yang gurih dengan hiasan sayur labu siam dan suiran ayam, atau olahan nasi yang begitu disukai oleh Obama, mantan presiden USA yang pernah menjadi anak Menteng.

Aku juga mencoba membayangkan minuman apa gerangan yang akan melintasi rongga kerongkongannya? Apakah air mineral? Atau secangkir kopi? Teh hangat? Pikiran-pikiran itu membuatku lelah dan berhasil menjadi obat tidur yang pas. Maka aku pun terlelap sambil berkemul sarung hitam hingga rasa ingin kencing yang sangat, membangunkanku, tanpa ada lagi ingatan tentangnya.

Saat pesawat akhirnya menjejak bumi, arlojiku menunjuk pukul 08.57 btwai, jelang jam sembilan di Makassar. Karena adik yang akan menjemput sudah menunggu di parkiran sejak setengah jam yang lalu, aku bergegas keluar terminal kedatangan. Aku melupakan Muhtar, teman seperjalananku, apalagi perempuan berpakaian orange itu. Bahkan, ritual ke toilet begitu turun dari pesawat, kulupakan.

Saat tiba di area penjemputan, di depan pintu keluar dari terminal kedatangan, barulah aku menyadari, rasanya tak sopan meninggalkan Muhtar begitu saja. Maka kutunggulah dia di tengah godaan sopir taxi dan tukang ojek yang menawarkan jasa. Tapi bukannya Muhtar yang muncul, malah perempuan itu yang berjalan dengan begitu anggun menyeret tas bepergiannya keluar terminal kedatangan.

Kuikuti langkahnya yang tertata, ibarat langkah seorang pragawati memamerkan busana terbaru hasil buatan desainer terkemuka di atas catwalk. Seseorang dari barisan penjemput, maju menyambutnya, seorang perempuan yang di tangannya ada secarik kertas bertuliskan nama yang dijemput. Wah, kesempatan mengetahui siapa gerangan dia, batinku. Namun tulisannya terlalu samar bagi mataku yang mulai menunjukkan gejala rabun jauh.

Tapi harapan itu masih ada, kucoba mendekat meski tetap dari jarak yang cukup untuk menjaga kesan agar tak terlihat seperti seorang penguntit. Kulihat perempuan penjemput itu, mengulurkan tangan ke arah perempuan yang berhasil membuatku penasaran itu. Kubaca gerak mulutnya, kudengar samar iya bertanya, "Bagaimana kabar, Mbak Shahnaz?"

Jleb! Dia bernama Shahnaz? Kulontar tanya pada bocah segala tahu, hasil perselingkuhan kreatif Larry Page dan Sergey Brin yang dikenal dengan nama Google, meski terlahir dengan nama BackRub. Siapa Shahnaz? Tanyaku. Google mengarahkanku pada sebuah paragraf yang tersaji di Wikipedia

Berikut isinya:
Shahnaz Natashya Haque lebih dikenal sebagai Shahnaz Haque (lahir di Jakarta, 1 September 1972; umur 46 tahun) adalah artis dan pembawa acara. Shahnaz adalah anak bungsu dari 3 bersaudara pasangan Allen dan Mieke Haque. Adik dari Marissa Haque & Soraya Haque ini menikah dengan drummer Gilang Ramadhan dan dikaruniai 3 orang putri.

Cukup! Itu saja. Tulisan ini berakhir sampai di sini. Saat rasa penasaranku tak berujung pada perkenalan manusiawi dengan sosok misteris itu, namun pungkas oleh setumpuk informasi dari sebuah mesin, ya mesin pencari. Padahal sosoknya sangat layak diajak ber-swafoto, mulutnya imut, hidungnya bangir, dagu terbelah samar, ditambah senyum merekah dengan kacamata yang memperindah wajahnya.

Disclaimer: 
Saya tak pernah benar-benar yakin bahwa dia adalah Shahnaz Haque sampai ada konfirmasi dari yang bersangkutan.

1 Komentar

  1. Anonim1:02 PM

    Ketemu sama Artis dibandara itu soal biasa kak...sy pernah ketemu beberapa Artis jg kok...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama