Umat yang Lupa Pada Sandalnya

[28.11.2018] Syahdan di suatu pagi yang cerah, warga kampung mendengar suara tangisan sesengguk-sengguk dari gubuk Daeng Suro. Ada apa gerangan dengan orang tua sebatang kara itu, apa yang ia tangisi? Tangisnya telah mengundang para tetangga untuk berkumpul, lalu mengunjunginya beramai-ramai.

"Ada apa, Suro? Mengapa kau menangis begitu?" Tanya Daeng Taba, Kepala Kampung mewakili tanya seluruh warga yang berkerumun.
"Bakiak kesayanganku hilang..." Jawab Daeng Suro di sela isaknya yang tertahan.
"Ooo..." Terdengar kor dari warga yang perlahan membubarkan diri sesudah mengetahui sebab menangisnya Daeng Suro.

Seorang warga, Daeng Sese begitu mengetahui masalah Daeng Suro, berinisiatif membeli sepasang bakiak yang bagus. Malamnya, dia berkunjung ke rumah Daeng Suro dan menyerahkan bakiak itu sebagai pengganti bakiaknya yang hilang.

Esoknya, Daeng Suro terlihat semringah saat beranjak salat subuh berjamaah dengan bakiak baru. Seluruh warga ikut gembira melihatnya kembali ceria, termasuk Daeng Taba. Pasalnya, tangisan Daeng Suro membuat mendung seluruh kampung.

Namun semua hanya sesaat, saat hadir salat duhur, Daeng Suro kembali terisak. Ratapannya menyertai empat rakaat sepanjang salat. Maka seusai salat, Daeng Taba yang baru saja menunaikan tugas sebagai imam salat, mendekati dan mencoba menenangkannya.

"Ada apa lagi, Suro?" Tanya Daeng Taba menggantung di udara, hanya berbalas isak tertahan.
"Bukankah sudah ada ganti buat bakiakmu yang hilang? Apa itu kurang bagus?" Lanjut Daeng Taba.
"Tidak begitu, Taba. Bakiak baru itu sungguh sangat bagus, lebih bagus dari punyaku yang hilang." Tanggap Daeng Suro akhirnya.

"Lalu apa lagi yang membuatmu demikian muram?" Kembali Daeng Taba melontar tanya.
"Bakiak baru itu." Seru Daeng Suro di sela isaknya.
"Maksudmu?"
"Kemarin aku bersedih bukan hanya karena kehilangan bakiak semata. Aku bersedih, sebab hingga hilangnya bakiak itu, aku belum merasa cukup berterima kasih padanya." Terang Daeng Suro. Hening, tak ada tanggap dari Daeng Taba.

Setelah beberapa jenak, Daeng Suro melanjutkan,
"Dia telah mengantarku ke masjid secara rutin tanpa mengeluh, dia pula menemaniku ke pasar dan ke ladang. Aku merasa belum cukup memperlakukannya dengan baik."
Daeng Taba masih saja terdiam.
"Yang hilang saja, belum kubalas jasanya dengan baik, tiba-tiba aku memakai bakiak baru pula." Daeng Suro beranjak meninggalkan masjid, membawa isaknya.
*     *     *

Aku mengisahkan perihal Daeng Suro dan bakiaknya, disebabkan oleh dua pengalaman yang sama terkait dengan sandal, di masjid yang berbeda. Aku mengamati, betapa kita demikian lalai memperlakukan sandal dengan baik, sandal yang telah mengalasi kaki kita dari panasnya jalan, terjalnya kerikil, serta tajamnya onak dan duri.

Pengalaman pertama kualami hampir tiga kali dalam sehari: subuh, magrib, dan isya. Kejadiannya di Masjid Jamiatul Khaer Mallengkeri. Setiap waktu salat, jamaah membiarkan sandalnya menumpuk begitu saja, di depan pintu dekat tempat wudu, padahal pengurus masjid sudah menyiapkan rak sandal yang lumayan besar.

Jamaah seakan abai untuk menyimpan sandalnya secara layak, sepertinya kita menganggap bahwa itu bukan perkara yang berkait dengan ibadah dan keimanan. Hasilnya, sandal ditinggal begitu saja, tak beraturan, bahkan dengan cuek menginjak atau menindih sandal jamaah yang datang lebih dahulu.

Aku yang punya kebiasaan menyimpan sandal di rak, masih harus merasakan derita serupa. Sandalku yang tersimpan rapi di atas rak, masih juga ditindih oleh sandal orang lain yang ikut disimpan di rak. Mengapa harus di atas sandal orang lain, sementara masih luas daerah rak sandal yang lowong? Aneh, bukan?

Tapi ini masih mending, sebab jamaah masjidnya dari kalangan umum. Berbeda dengan pengalaman keduaku yang terjadi hampir tiap pekan di masjid Pondok Pesantren Tanwirussunnah Gowa. Bila aku berkunjung ke  sana untuk menjenguk anak, bila waktu salat, kusempatkan diri ikut jamaah di masjid.

Ahad kemarin, aku tiba sekira pukul tiga sore. Tak lama, azan asar berkumandang, maka aku bersegera menuju masjid. Untuk sampai di tempat wudu, kita harus menaiki dua anak tangga. Kulihat beberapa pasang sandal bertumpuk di sana, berarti tempat wudunya bebas alas kami. Maka kulepas dan kuletakkan sandalku pada ruang yang masih kosong.

Selepas wudu, aku bergegas menuju tempat sandal untuk segera masuk masjid. Di depanku, seorang santri yang kutaksir siswa SMP berjalan santai sambil memasang jubahnya bersamaan dia memakai sandalnya. Begitu kaki kanannya melangkah, salah satu sandalku tertendang, berguling ke anak tangga pertama, dengan cuek dan tak merasa bersalah, anak itu terus melangkah, sandalku yang sudah jatuh, dia injak pula.

Coba bayangkan, sandal yang hendak kupakai selepas wudu, kini belepotan pasir basah dari alas sandalnya. Sandal seorang santri, dan tak sedikit pun dia merasa kalau tindakannya merupakan kekeliruan. Seandainya pelakunya masyarakat awam, aku bisa maklum. Namun dia seorang santri yang selayaknya punya kesopanan lebih.

Dengan sedikit kesal aku melangkah ke masjid, sandalku kuletakkan di pojok kanan jauh tangga masjid, dengan asumsi akan bebas dari terinjak, sebab di pojok itu jarang dilalui jamaah. Tapi apa betul demikian? Selepas salat, aku kembali harus kecewa. Sandalku kembali belepotan pasir basah dari alas sandal orang lain.

Salah satu pelakunya, berjalan tepat di depanku, seseorang yang kutaksir berusia akhir dua puluhan tahun, memakai peci putih, berjubah, dan celana cingkrang berwarna senada. Kesalehannya dilengkapi dengan janggut panjang terawat di dagu. Tapi seperti tak punya kepedulian terhadap sandal orang lain.

Kedua kejadian ini menyentil kesadaranku perihal betapa kita sebagai bagian dari umat yang taat beribadah, kadang (bahkan selalu) abai terhadap memperlakukan sandal secara layak, menyusunnya secara rapi atau menempatkannya di rak sandal, dan tidak menginjak-injak begitu saja sandal orang lain.

Sebagai umat beragama, kesalehan kita masih diukur hanya menggunakan takaran formalistik yang minim aspek sosial. Berlomba-lomba menuju masjid untuk berjamaah, namun melupakan sandal yang mengalasi kakinya dari berbagai bahaya. Sandal dipandang sebelah mata, bahkan diperlakukan tak selayaknya.

Betapa jauh kita dari ahlak terhadap sandal yang dicontohkan nabi Muhammad saw. Aisyah bahkan meriwayatkan, bahwa ia pernah ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah di rumahnya. ‘Aisyah menjawab. “Beliau menjahit pakaiannya dan memperbaiki sandalnya sendiri.” Lihat, manusia mulia itu memperbaiki sandalnya. Kita, jangankan memperbaiki, menyimpannya dengan rapi saat memasuki masjid, sungguh jauh dari harapan.

Ini baru perihal menyimpan sandal dengan rapi, kita belum masuk pada perihal salat dengan mengenakan sandal. Salah satu sunnah yang jarang kita lakukan adalah salat dengan memakai sandal, padahal itu dicontohkan resulullah. Seorang tabiin, Said bin Yazid al-Azdi, beliau pernah bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan menggunakan sandal?” Jawab Anas: “Ya.” (HR. Bukhari 386).

Bahkan kisah mutawatir mewartakan bagaimana Rasulullah memasuk Sidrah al Muntaha tetap memgenakan sandal, sementara Musa as yang menghadap Allah di bukit Tursina, diperintahkan melepas terompahnya. Saksikanlah, betapa sandal dan rasulullah tak bisa dipisahkan. Lalu mengapa kita sebagai umatnya mengambil sikap berbeda?

Kita menjadi umat yang lupa pada sandal, kita menjelma manusia yang tak pandai berterima kasih. Pernahkah kita mencoba menanyai diri masing-masing, sudahkan kita meneladani rasulullah dalam memperlakukan sandal? Pernahkah kita berusaha membalas kebaikan berbagai hal yang mendukung kehidupan kita dengan hal-hal positif? Entahlah...

2 Komentar

  1. Terkadang kita lalai tapi tak jarang juga kita pura-pura lalai.

    Luar biasa kak. Sentilannya mengena ������

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir...

      Demikianlah adamya, baru bisa menyentil melalui tulisan. Hehehe...

      Hapus
Lebih baru Lebih lama