[11.08.2017] Lebaran kali ini bakal tak kunikmati
sepenuh hati. Pasalnya, abi kembali
memilih berlebaran di Bone. Aku sudah berusaha menolak, abi tetap berkeras, selama kakek masih
hidup, abi tak akan lebaran di tempat lain. Aku
sempat menawarkan opsi agar aku ditinggal sendiri saja di Makassar, abi bergeming.Maka di sinilah kami, di
depan rumah panggung kakek yang bertiang empat puluh dengan bubungan bertingkat
lima berwarna keemasan, ciri khas bangsawan lama yang masih kukuh memegang
tradisi.
Kutapaki anak tangga dengan malas,
jumlahnya juga empat puluh, entah ada apa dengan angka itu. Begitu tiba di
pertengahan tangga, abi meneriakkan salam, dan dari pintu yang
menganga, melayang butiran beras yang ditabur oleh nenek.
“Décéng énré’ki’ mai, ri bola masé-masé.” Sambutnya dalam bahasa Bugis yang
tak kumengerti sepenuhnya. Mukaku berhias senyum kecut.
“Naiklah anakku. Naiklah dengan bahagia di rumah nenekmu yang
bersahaja.” Nenek merentang tangan bersiap memelukku.
Bagaimana bisa bersahaja dalam
keberkahan bila belum apa-apa, sudah berbuat kemubaziran? Batinku. Seharusnya
nenek lebih mendahulukan menjawab salam abi daripada menabur beras, itulah pintu keberkahan yang hakiki.
Aku melirik abi yang cuma mengedipkan kedua mata
sebagai kode agar aku tidak berbuat ulah dan menerima saja perlakuan nenek
dengan muka yang senantiasa berhias senyum.
Setelah berbasa-basi dengan nenek dan
kakek yang muncul belakangan, aku pamit ke kamar untuk istirahat sejenak
sebelum mandi sore. Kutinggalkan abi, ummi, dan Randy adikku yang masih
berceloteh tentang sekolahnya di Makassar. Tak lama, mungkin karena angin sepoi
dari jendela yang terbuka seperti membelai tubuhku yang kelelahan karena
perjalanan jauh, aku terlelap.
*
* *
Besok lebaran, nenek yang dibantu oleh ummi,
sibuk menyiapkan penganan. Ada tapai,
burasa’, tumbu’, gogoso’, serta
ayam nasu likku’, dan beragam
penganan tradisional yang mengundang selera. Aku sendiri sibuk mengamati kakek
yang memanjat tangga di sisi tiang soko guru rumah, memasuki lubang kecil, lalu
menghilang di rakkéang, tingkap dalam yang berfungsi sebagai gudang.
Aku kian penasaran dengan tingkah kakek
yang saban tahun mengendap ke rakkéang di malam lebaran. Menurut cerita tetangga yang rutin
berkunjung bila keluargaku datang berlebaran, kakek
memelihara Sangiang di atas sana.
Entahlah, mahluk apa Sangiang itu,
sebab aku juga belum tahu. Maka ketika nenek dan ummi sibuk di dapur, abi dan Rendy entah di mana, kuikuti kakek
ke rakkéang.
Kepalaku tiba di lubang kecil menuju rakkéang, aku disergap aroma kemenyan yang
berpadu dengan bau padi kering yang bertumpuk, hasil panen berhektar-hektar
sawah warisan kakek. Kulihat punggungnya, kakek menghadap ke sebuah miniatur
ranjang, lengkap dengan kelambu. Entah apa yang ada di dalamnya, meski
kelambunya sedikit tersingkap, namun badan kakek menghalangiku untuk
melihatnya.
Mataku terpaku pada tangan kanan kakek
yang sibuk menabur serbuk kemenyan di pedupaan mungil yang membara, lamat-lamat
kudengar suara kakek melafazkan mantra, atau mungkin doa dalam bahasa Bugis. Ya
Allah, apa yang dilakukan kakekku, bukankah dia telah menyempurnakan agama dan
bergelar haji? Lalu mengapa dia masih juga menggelar ritual yang tak ada
tuntunannya dalam agama?
Segera kutinggalkan aktivitas
mencurigakan kakek, kutemui abi yang ternyata lagi duduk di teras menanti
lewatnya rombongan takbir keliling. Kuhempaskan tubuhku dengan keras, pas di
sisi kiri abi, sengaja kutunjukkan kekesalan.
“Abi! Kenapa membiarkan kakek masih mempraktikkan tradisi musyrik
seperti itu!?” Sergahku tanpa pengantar. Abi merespon dengan santai, seperti
biasa bila menghadapi protesku untuk berbagai hal.
“Tradisi yang mana Nurul? Musyrik bagaimana?” Suara Abi tetap pelan.
“Itu, memelihara dan menyembah-nyembah Sangiang!” Nafasku memburu.
“Nurul tahu Sangiang itu apa?
Terus, sejak kapan Kakek menyembah selain Allah?” Abi memberondongku dengan
tanya beruntun.
“Barusan aku lihat sendiri di rakkéang.” Aku tak mau kalah.
“Ayo kita lihat lagi, mungkin kamu yang salah lihat.” Abi menggamit
lenganku, aku ikut dengan langkah berat, kulihat senyum tersungging di mulutnya.
*
* *
Sambil menimang-nimang bayi yang masih
kemerahan itu, Batara Guru yang begitu semringah berbisik lembut pada anaknya.
“Anakku, kunamai kau Wé Oddang Nriuq.” Lalu melirik Wé Sessung Nriuq, selirnya, perempuan
langit yang menyertainya selama ini di samping permaisurinya, Wé Nyiliq Timoq. Sang permaisuri yang
turut menyambut kelahiran putri suaminya ikut gembira. Batara Guru memerintahkan seluruh penghuni bumi bersukacita.
Istana menyiapkan makanan berlimpah, tak boleh ada yang bermuram durja.
Namun sayang, di hari ketujuh
kehadirannya di bumi, na mapaddéng bannapatinna Wé Oddang Riuq, ia meninggal tiba-tiba. Kepergiannya menimbulkan luka yang mendalam bukan hanya pada
Batara Guru, Wé Nyiliq Timoq dan Wé Sessung Nriuq, ibunya. Mendung
bergelayut di hati seluruh penghuni bumi. Dengan
berat hati, Batara Guru memerintahkan agar putrinya dibuatkan gossali, pusara indah ri aleq karaja tenri suwiyyé, belantara
tak terjamah.
Tepat
di hari ketiga kepergian anaknya, hati Batara Guru dibelasah pilu, jiwanya
dirajam rindu. Maka lelaki perkasa bergelar Manurungngé ri Lu’ itu menembus
hutan belantara untuk ziarah ke makam putrinya.
Saat tiba, bulu roma La Togéq Langiq meremang saat menyaksikan di
semua sudut sepanjang mata memandang penuh dengan padi menguning yang
menghampar luas. Ada yang maeja, maridi,mapute,malotong, pun magau’, beragam warna. Semua padi yang telah
bernas itu, berpusat ke pusara anaknya.
“Sangiang...” Hanya kata itu
yang sanggup diucapnya
*
* *
Abi mengajakku mendekat ke miniatur
ranjang berkelambu itu. Aku melangkah ragu, lantai rakkéang berderik.
“Lihat
dengan saksama Sangiang itu, agar kau tak salah kaprah pada
kakek!” Seru Abi.
Aku
kian dekat, Abi menyusul tepat di belakangku.
“Itu
adalah benih padi yang akan di tanam kakek pada musim tanam berikutnya.” Abi
menjelaskan apa yang kulihat.
“Lalu buat apa kakek membakar kemenyan
di sekitarnya? Dan berdoa kepadanya?” Protesku sengit.
“Hehehehe...
Nurul tahu kalau malaikat menyukai harum-haruman? Kakek berharap doa yang
selalu dipanjatkan dekat Sangiang
itu, diaminkan oleh malaikat.” Suara Abi memelan.
“Salahkah
bila kakek berdoa agar benih yang disiapkannya itu, akan tumbuh subur dan
menghasilkan padi yang ranum, dan juga berberkah?” Lanjutnya, tak memberiku
kesempatan untuk melanjutkan protes.
“Terus,
kenapa harus pakai kelambu?” Sosorku dengan nafas memburu.
“Tak
bolehkan kakek memperlakukan benihnya dengan sedikit lebih terhormat di banding
padi lainnya?”
“Tapi.....”
“Toh
kakek tak pernah menganggap Sangiang
itu lebih mulia dibanding Allah dan rasulNya. Lalu di mana musyriknya?”
Rentetan kalimat Abi seperti mitraliur memberondong kesadaranku.
~ Makassar,
11.08.2017
ilustrasi dicomot dari Facebook
Tags:
Cerita Pendek