Yang Hilang Dari Ikhtiar, Doa, dan Ibadah Syekh Muhammadong

Kerlip cahaya kandil, menerobos dinding papan bangunan masjid di kompleks pesantren Bola Asalamakeng. Saat sebagian besar murid masih terlelap dalam naungan malam, Syekh Muhammadong dan beberapa murid utama telah usai menegakkan salat lail dan bersiap utuk zikiran. Nampak Abu Bakkareng, Yummareng, Yusemanu dan I Yali duduk dalam lingkaran. Mereka menanti Syekh Muhammadong untuk duduk dan menuntun lantunan zikir.

Meski oleh murid-muridnya telah ditunggu lumayan lama, Syekh Muhammadong masih mondar-madir di teras masjid pesantren, entah apa di pikirannya. Maka ketika dia akhirnya duduk di tempatnya, Abu Bakkareng sebagai murid paling senior, berani melontar tanya pada gurunya.
"Maafkan muridmu yang daif ini Syekh, bolehkah saya melontar secebis tanya?" Ujar Abu Bakkareng.
"Ada apa? Tak biasanya kau meminta izin bila ingin bertanya.”
“Karena ni menyangkut hal yang bersifat pribadi sifatnya, Syekh.”
“Oh, memangnya, apa yang hendak kau tanyakan, Abu?" 
"Maaf Syekh, beberapa hari ini Syekh terlihat gelisah setiap usai zikiran, ada apa gerangan Syekh?"
"Wah, aku kelihatan begitu?" Sambil mengelus janggutnya yang sudah memutih.
"Iya Syekh." Jawab Abu Bakkareng pintas.

Syekh Muhammadong terdiam mendengar tanya muridnya. Melihat itu, murid-murid utama yang hadir saling melirik, suasana menjadi agak tegang.
“Aku tak harus menjawabnya, kan?” Ujar Syekh Muhammadong kemudian.
“Tidak apa-apa ya Syekh.”Jawab Yummareng segera.
“Itu hanya rasa penasaran Abu Bakkareng semata.” Timpal I Yali.
“Heheheh…. Tidak apa-apa, rasa penasaran Abu bukan hal yang salah.” Jawab Syekh Muhammadong selanjutnya. Mendengar itu, murid-muridnya menjadi lega.
“Tapi…”
“Tapi apa ya Syekh?” Kali ini Yusemanu yang merespon.
“Meski memang kecurigaan kalian bahwa aku didera gelisah itu benar, tapi aku belum bisa mengungkapkan alasannya.”
*     *     *     *     *

Astagfirullah, ternyata ibadahku selama ini bukanlah apa-apa ya Allah. Gumamku dalam hati sambil menyeka jidat yang lembab oleh keringat. Ampuni aku ya Rabbi…. Kembali kulafaz istighfar. Mereka tak salah saat merasa aku sedang gelisah. Mereka tak keliru bila ikut gelisah melihat panutannya  dilanda cemas. Gelisah dan cemas yang tak mereka tahu sebabnya, dan aku masih berat untuk menceritakannya.

Ini bermula sejak malam jumat terakhir pada bulan yang lalu. Di tengah zikir, aku merasa cahaya yang biasa melingkupiku, perlahan kian benderang. Bersamaan ketika cahaya itu menyelimutiku, kehangatan juga menjalari sekujur tubuhku. Tubuhku yang berselimut cahaya, bergerak ke atas, perlahan membelah angkasa. Pengalaman itu aku alami dan berulang pada hari-hari berikutnnya, setiap hari kian benderang, setiap aku melafazkan zikir.

Namun sudah dinihari sepekan terakhir, ada yang membuatku takjub. Tentu itu bukan diriku sendiri dan pencapaian-pencapaian spiritualku, aku berlindung kepada Allah dari ujub dan takabur. Dalam perjalanan yang kulakukan, aku selalu dibuat terhenyak oleh lintasan cahaya yang meluncur deras menyalip diriku. Cahayanya pun begitu benderang dan menyilaukan. Siapa gerangan yang punya daya spiritual sebesar itu di sekitar pesantren ini, dan aku tak mengetahuinya?

Itulah sebab, mengapa beberapa hari terakhir aku menyilakan murid-murid utamaku menjalani laku zikirnya sebelum aku sendiri memulai. Aku mencoba mengintip aura spiritual mereka semua,tak ada yang istimewa, perkembangannya memang seperti yang saya harapkan. Saat mereka mulai merapal zikir, kulihat cahaya berpijar menyelubungi tubuh-tubuh mereka, tipis, dimulai dari ubun-ubun, tapi tak ada yang melejit seperti yang mengherankanku sepekan terakhir. Lalu siapa cahaya cerlang itu?

Jangkauan proses pencarian kuperlebar radiusnya, kulacak ke seluruh santri di pesantren, tak ada yang istimewa, hampi semua masih awam dengan maqam ini. Maka kuputuskan meluaskan pencarianku hingga ke masyarakat sekitar. Aku anjangsana menemui warga di luar pesantren, selain bertujuan silaturrahim, pun melacak sumber daya spiritual yang mumpuni itu. Hingga kutemukan, tak ada satupun warga yang memiliki apa yang kucari.

Seorang warga memberi kabar, ada seorang kakek yang baru pindah, sementara berladang di kaki bukit, dia membangun pondoknya agak terpisah dari perkampungan. Berkat kebaikan hati I Yali, salah satu muridku, kuperoleh informasi tenangnya. Dia hanyalah seorang petani biasa yang sudah renta, tinggal sebatang kara, bercocok tanam ubi dan sayuran, serta memelihara beberapa ekor ayam dan itik. Tak ada sapi, kambing, atau pun kuda.

Jawaban itu tak memuaskanku, maka kuberanikan diri untuk mencari informasi langsung ke orang tua itu, seorang diri. Apalagi dalam perjalananku semalam, sepertinya, cahaya menyilaukan itu memang beranjak dari arah pondok sederhananya. Demi menemukan shirat al mustakim, aku yang oleh masyarakat luar dikenal sebagai Syekh Muhammadong, tak merasa rendah diri bila harus berburu kebenaran dari arah mana pun dan dari siapa pun. Maka selepas asar, aku mengunjungi petani tua itu.
*     *     *     *     *

“Masya Allah, keberkahan apa gerangan yang dianugerahkan Allah padaku sehingga tuan Syekh berkenan mampir ke pondokku yang sederhana ini?” Si petani tua tergopoh menyambut kedatangan Syekh Muhammadong, tangannya yang keriput menyongsong tangan Syekh Muhammadong, menjabat, lalu diciumnya.
“Jangan sungkan Pak…”
“Nama saya La Jiberilu, tuan Syekh, tapi panggil saja Jibe’.”
“Saya datang sebagai sesama saudara yang hendak mengeratkan ikatan silaturrahim, Pak Jibe’.” Terang Syekh Muhammadong, matanya mengedar memandang suasana sekeliling pondok.

“Ayo silakan tuan Syekh, kita berbincang di pondok sederhana saya, bila tuan Syekh berkenan.” La Jiberilu menuntun Syekh Muhammadong yang datang dengan pakaian kebesarannya, menaiki tangga pondoknya.
Di dalam pondok yang temaram, Syekh Muhammadong melihat di sana hanya ada tikar rotan yang sudah lusuh meski kebersihannya terjaga.
“Silakan duduk tuan Syekh, maaf, cuma tikar ini yang ada,” La Jiberilu seperti membaca pikiran Syekh Muhammadong.

“Maafkan saya tuan Syekh, rasanya hal yang muskil bila kunjungan ini sekadar silaturrahim biasa.” Seru La Jiberilu sambil memperbaiki duduk silanya.
“Baiklah Pak Jibe’, sesungguhnya kedatangan saya ke sini untuk belajar pada Pak Jibe’.”
“Wah.. wah.. wah.., apa saya tidak salah dengar? Jangan bercanda dan mempermainkanku tuan Syekh.”
“Aku tidak bercanda Pak Jibe’, tolong terimalah pinta sederhanaku ini?”
“Ini bukan perkara sederhana tuan, bagaimana mungkin saya bisa mengajari seorang ulama besar seperti tuan Syekh?” Terlihat La Jiberilu gemetar.

Melihat tanggapan La Jiberilu, Syekh Muhammadong membetulkan letak serbannya lalu tersenyum lebar.
“Kumohon berhentilah merendah Pak Jibe’, aku tahu betul siapa Pak Jibe’.” Ujar Syekh Muhammadong.
“Aduh, sepertinya tuan Syekh salah orang. Baiknya kita menyegarkan kerongkongan dulu, biar tuan Syekh bisa memandang saya secara jernih.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, La Jiberilu menjangkau ke belakang punggungnya, dari sana tangannya membawa dua gelas sarabba yang masih mengepul.
“Silakan tuan, ala kadarnya.”

Saat menyeruput sarabba yang dihidangkan, La Jiberilu kembali menjangkau ke balik punggungnya, dari sana dia mengacungkan sepiring pisang goreng beserta sambel terasi yang segar, dihidangkannya ke hadapan Syekh Muhammadong. Melihat itu, Syekh Muhammadong mencoba menajamkan pandangan dalam pondok yang temaram itu, tak ada sesiapa selain mereka berdua. Jadi siapa gerangan yang menyediakan makanan itu untuk mereka?

“Silakan tuan Syekh, hanya makanan sederhana dari alam sekitar.” Seru La Jiberilu dengan tersenyum, sambil terus menjangkau dan menghidangkan makanan. Setelah pisang goreng, menyusul sekeranjang buah, ada beberapa buah jeruk manis, setangkai anggur, beberapa biji salak, pisang raja, bahkan apel. Syekh Muhammadong bergumam lirih, “Betul tebakanku, dialah sumber cahaya itu. Tak salah lagi, aku harus berguru di sini, tak mungkin orang awam punya karomah sedemikian ini.” Cuma dalam hati.

Setelah merasa cukup menikmati hidangan yang disajikan, Syekh Muhammadong kembali mengemukakan harapannya untuk berguru.
“Pak Jibe’, kumohon sekali lagi agar bersedia membimbingku di jalan ini.”
“Apa yang bisa kuajarkan kepada seorang Syekh seperti tuan?”
“Tentu Pak Jibe’ lebih paham apa yang aku butuhkan, kumohon.” Syekh Muhammadong meraih tangan La Jiberilu lalu mengecupnya lembut. Yang diperlakukan demikian hanya tersenyum keki melihat tingkah tamunya.

“Baiklah, bila memang tuan Syekh memaksa, silakan tuan memejamkan mata, jangan membukanya sebelum kupinta.” Tangan mereka masih berjabatan.
“Insya Allah, Pak Jibe’ akan menemukan aku sebaga seorang pencari yang taat.” Syekh Muhammadong memejamkan kedua belah matanya, La Jiberilu melakukan hal serupa. Dari jauh, terlihat cahaya berpendar dari sela dinding pondok tersebut, sore itu menjadi benderang karenanya, meski cahaya tak terlihat oleh mata awam.
*     *     *     *     *

Tak ada apa-apa ditengah lautan lepas, hanya terik mentari yang memantul-mantul di muka gelombang, sepertih serpih berlian yang berkilau. Tiba-tiba, entah datang dari mana, dua orang lelaki paruh baya duduk mengambang di atas permukaan ombak, serupa buih yang mengapung. Masing-masing mengenakan jubah putih dan berserban dengan warna putih pula. Mata keduanya terpejam, sementara tangan kanan mereka saling menjabat. Tak ada air, bahkan percik terkecil sekali pun yang berani menjamah pakaian mereka.

“Bukalah mata anda, tuan Syekh.” Seru salah seorang di antaranya yang ternyata La Jiberilu. Orang yang disapa Syekh itu, tentulah Syekh Muhammadong, dia perlahan menggerakkan kelopak matanya, dan memandang ke depan. Begitu menyadari keberadaannya yang terombang-ambing di atas gelombang, dia terlonjak dan oleng. Beruntung tangannya tak dilepaskan oleh La Jiberilu yang sekali sentak membuat posisi Syekh Muhammadong kembali bersila dengan stabil.

“Kita berada di mana Pak Jibe’?”
“Di tengah lautan lepas, tuan Syekh.”
“Kenapa kita berada di sini? Lalu pakaian Pak Jibe’?”
“Kan tuan hendak belajar dari saya.”
“Tapi saya tak minta di bawa ke sini.”
“Ini syarat saya, tuan. Saya hanya bisa mengajarkan apa yang tuan cari di tengah laut ini.” Terang La Jiberilu. Mendengar itu, Syekh Muhammadong hanya bisa masygul.

Setelah menata pikiran dan perasaan, Syekh Muhammadong mulai mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan siap mendengar paparan La Jiberilu.
“Jadi, silakan Pak Jibe’ jelaskan, insya Allah aku akan jadi pendengar yang baik.” Ujar Syekh Muhammadong sambil memperbaiki duduk silanya, tanpa melepas tangan La Jiberilu. Tak ada jawab dari La Jiberilu, namun tiba-tiba dia melepas tangannya dari genggaman Syekh Muhammadong. Setelah itu, perlahan La Jiberilu menjelma menjadi sekadar bayang yang akhirnya lenyap sama sekali.
“Silakan Tuan Syekh berusaha menyelamatkan diri, sebab sejak ini, tubuh tuan akan perlahan tenggelam.” Suara La Jiberilu terdengar entah dari mana.

Seiring hilangnya suara La Jiberilu, Syekh Muhammadong yang sebelumnya terapung, sekarang tenggelam sebagaimana biasanya orang bermain di laut. Maka dengan sekuat tenaga, Syekh Muhammadong menjaga dirinya agar tetap terapung, memutar kepalanya mencari ke segala penjuru ke arah mana gerangan gerakan renangnya akan diarahkan. Namun sejauh mata memandang, yang ada hanya horizon yang sepenuhnya air.

Setelah memastikan arah dengan berpediman pada posisi matahari, Syekh Muhammadong bergerak ke arah utara, namun setelah dia merasa sudah jauh berenang dan belum ada tanda-tanda daratan di depannya, Syekh Muhammadong membalik arah berenangnya ke timur. Tak lama, dia membanting haluan ke selatan, lalu ke barat. Hingga nafasnya tersengal, kaki dan lengannya letih, tak ada tanda-tanda daratan yang dituju. Segala teknik renang sudah dia keluarkan untuk tetap mengapung, meski akhirnya, tarikan air laut tetap lebih kuat.

Saat setiap upaya yang mungkin telah dilakukan dan semua ikhtiar telah dicoba, Syekh Muhammadong didera letih yang tak tertanggungkan. Lengan dan tungkai kaki menjadi kram, maka upaya terakhir yang menjadi pilihan adalah menahan nafas sekuat-kuatnya saat tubuhnya perlahan karam. Kala dadanya sudah demikian tertekan, air laut sudah merembes melalui mulut dan hidung yang kehilangan kendali, ingatannya menjangkau-jangkau memantik sebait doa yang menjadi simpul harap pada seluruh aliran darah dan kesadarannya, Laa hawlaa walaa quwwata illaa billah.

Semua hampa, tak ada suara, tiada bunyi dan cahaya. Syekh Muhammadong merasa tubuhnya melayang, terombang-ambing di tengah gumpalan air samudra. Tiba-tiba sesuatu mencengkeram lengannya, membetot tubuhnya ke permukaan air. La Jiberilu membaringkan tubuh Syekh Muhammadong lalu membantunya mengeluarkan air yang sempat tertelan. Setelah beberapa saat, kesadaran pimpinan pondok pesantren Bola Asalamakeng perlahan kembali. Dia melihat tubuh La Jiberilu yang duduk bersila di sampingnya seumpama siluet.

“Tuan sudah sadar?” Ujar La Jiberilu tanpa menunggu jawaban. Sambil membopong tubuh Syekh Muhammadong, tubuhnya menghilang dari permukaan samudra dan muncul di sebuah tepian pantai. Diturunkannya Syekh Muhammadong, dibiarkan tergolek di atas pasir. Dipegangnya lembut pundak Syekh yang hendak berguru padanya itu.
“Tuan, semoga pengalaman ini membuat Tuan menyadari apa yang hilang dari berbagai ikhtiar, doa, dan ibadah Tuan selama ini.” La Jiberilu kemudian berlalu secepat hembusan angin dan kedipan mata.



Notabene:
a. Disadur dari kisah yang dituturkan oleh Ustaz H. Muhlis Zamzami Can An-Nadwi
b. Foto dicomot dari inilah.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama